Sabtu, 11 Maret 2017

PENGETAHUAN TENANG PERKAWINAN AGAMA BUDDHA

Perkawinan dalam Agama Buddha

Perkawinan dalam Agama Buddha
Pendahuluan

Dalam pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di vihara – sebagai Bhikkhu, samanera, anagarini, silacarini – ataupun tinggal di rumah sebagai anggota masyarakat biasa.
Sesungguhnya dalam Agama Buddha, hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha, seperti dalam syair di atas.

Mencari dan Membina Pasangan Hidup
Dalam menguraikan tujuan hidup manusia, disebutkan salah satunya adalah tentang adanya pencapaian kebahagiaan di dunia. Dengan demikian, pasti ada cara untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup berumah tangga. Pasti ada pula petunjuk dan cara-cara mendapatkan pasangan hidup yang sesuai serta membina hubungan baik, mempertahankan komunikasi serasi setelah menjadi suami istri. Memang, hal tersebut dapat diperoleh dalam Kitab Suci Tipitaka, Digha Nikaya III, 152, 232 dan dalam Anguttara Nikaya II, 32. Diuraikan di sana bahwa ada minimal empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan sebagai suami istri yang harmonis. Keempat hal itu adalah:

1. Kerelaan (Dana)Dalam Hukum Kamma (Samyutta Nikaya III, 415) telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Kualitas cinta ini seperti seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya. Ia akan mempertahankan anak tercintanya dengan seluruh kehidupannya, melindungi anak tersayangnya dari segala macam bahaya dan bencana, memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya, serta rela memaafkan segala kesalahan anaknya
Dalam mencari dan membina pasangan hidup, kerelaan jelas amat diperlukan. Kerelaan materi di awal perkenalan dapat dikembangkan menuju kemampuan merelakan keakuan. Kerelaan keakuan ini berbentuk pengembangan sifat saling pengertian, saling memaafkan. Kesalahan pasangan hidup, seringkali bukanlah karena disengaja. Oleh karena itu, menyadari kenyataan ini menjadikan seseorang lebih sabar dan rela memberikan kesempatan berkali – kali kepada pasangan untuk dapat membangun kualitas dirinya. Berilah pasangan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kemarahan bukanlah tanda cinta. Kemarahan adalah tanda keakuan. Ingin segala harapannya terpenuhi. Dengan kerelaan, orang akan lebih mudah mengerti serta menerima kekurangan dan kelemahan orang lain. Sikap ini akan menjadi salah satu tiang kokoh dalam menjalin hubungan dengan orang lain, khususnya dengan pasangan hidup.

2. Ucapan yang Baik/Halus (Piyavaca)Dalam dunia ini, siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus, termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar, walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Menghindari caci maki dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar, akan sangat membantu dalam membina hubungan dengan pasangan hidup. Dengan kata-kata halus yang tetap berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam menjaga keharmonisan hubungan.
Sampaikanlah pujian kita pada pasangan dengan kalimat yang menyenangkan. Demikian pula, ucapkan kritikan pada pasangan dengan bahasa yang halus dan saat yang tepat, untuk menghindari kesalahpahaman.
Perlu direnungkan, menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata pedas sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri. Sebab, orang tentunya akan menjadi sedih apabila orang yang dicintainya juga sedang sedih.

3. Melakukan Hal yang Bermanfaat Baginya (Atthacariya)Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain. Dalam pengembangan konsep berdana, sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental: “Semoga semua mahluk hidup berbahagia”. Demikian pula dengan pasangan hidup. Ia adalah mahluk pula, berarti ia harus diberi kesempatan berbahagia pula. Orang harus berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Sesungguhnya, kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.
Dengan demikian, tingkah laku hendaknya selalu dipikirkan untuk membahagiakan orang yang dicintai. Banyak pendapat umum yang menganggap bahwa cinta adalah menuntut. Orang yang dicintai haruslah mampu memenuhi harapan orang yang mencintai. Konsep ini sesungguhnya tidak tepat. Sebab, apabila orang yang dicintai sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan, apakah ia kemudian diceraikan?
Oleh karena itu, cinta sesungguhnya memberi, merelakan. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik dalam setiap insan, maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi. Siapakah di dunia ini yang tidak ingin dibahagiakan?
Pola pikir ‘ingin membahagiakan orang yang dicintai’ hendaknya terus dipupuk dan dipertahankan termasuk dalam kehidupan perkawinan. Apabila bukan pasangan hidupnya sendiri yang membahagiakannya, apakah seseorang akan meminta orang lain untuk membahagiakan dirinya?

4. Batin Seimbang, Tidak Sombong (Samanattata)Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal. Tidak akan pernah ada penyebab tunggal. Demikian pula dengan adanya kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah kammanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.
Dalam usaha mencari dan membina pasangan hidup, selain selalu berusaha melaksanakan empat sikap di atas, hendaknya jangan melupakan adanya beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan. Hal ini apabila terpenuhi akan menjadi faktor tambahan yang akan lebih membahagiakan kehidupan berumah tangga. Terdapat empat faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia. Empat hal tersebut telah diuraikan dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam Keyakinan, Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan.

1. Kesamaan Keyakinan (sadha)Saddha bukan hanya berarti harus sama dalam agama, tetapi merupakan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membentuk pola hidup. Kita menyadari bukan agama yang membuat batasan-batasan tertentu, tetapi pencerapan dan penyelaman kita akan ajaran itu yang mempunyai keterbatasan.
Namun demikian, keyakinan yang berbeda sering menimbulkan masalah bagi pasangan. Jika masing-masing pihak bersikeras pada keyakinannya, bahkan salah satu pihak memaksakan keyakinannya pada pihak lain, tentunya hal ini akan menyebabkan keharmonisan terganggu.
Butuh toleransi dan pengertian yang besar dari kedua belah pihak. Berbagai masalah akibat perbedaan keyakinan pun masih dapat terus muncul apabila hubungan akan dilanjutkan dalam ikatan perkawinan. Menentukan tempat pemberkahan pernikahan dapat menjadi beban ekstra. Setelah memiliki anak pun masalah ini masih terus berlanjut Pasangan mungkin akan terus terlibat dalam diskusi berkepanjangan dan mungkin perdebatan sengit tentang pembinaan agama bagi keturunan mereka.

2. Kesamaan Kemoralan (sila)Apabila keyakinan telah sama, maka hendaknya pasangan memiliki keserasian dalam tingkah laku. Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis terdiri dari lima latihan kemoralan, yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan banyak menghindarkan masalah dalam masyarakat dan rumah tangga. Dalam segala lapisan masyarakat, pelanggaran kelima latihan kemoralan ini akan dipandang sebagai kesalahan. Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan menjadikan seseorang diterima masyarakat dengan baik. Pelaksanaan latihan kemoralan ini dalam rumah tangga akan membebaskan seseorang dari rasa bersalah, membuka wawasan komunikasi yang baik serta menghindarkan saling curiga dan was-was di antara pasangan.

3. Kesamaan Kedermawanan (caga)Caga bukan hanya berarti suka berdana, tetapi adalah seseorang yang mempunyai jiwa tanpa beban, jiwa melepas, tidak tergantung, dan tidak melekat. Bagi orang yang murah hati pasti akan lebih mampu memiliki metta, karuna, mudita, dan upekkha. Orang yang murah hati batinnya tidak ada hambatan dan selalu bahagia sehingga akan memudahkan untuk pengembangan batin yang lainnya.
Memiliki watak kedermawanan yang sama dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti bahwa cinta sesungguhnya adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang yang kita cintai dengan iklas dan tanpa syarat. Selama sikap ini masih belum tertanam baik-baik di pikiran setiap pasangan, masalah sebagai akibat tuntutan agar pasangan dapat memenuhi harapan kita akan selalu muncul.

4. Kesamaan Kebijaksanaan (pañña)
Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar bila menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu. Pasangan membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai dengan Buddha Dhamma.
Buddha Dhamma telah mengajarkan bahwa hidup ini berisikan ketidakpuasan. Penyebab adanya ketidakpuasan ini hanyalah karena keinginan sendiri yang tidak terkendali. Oleh karena itu, apabila seseorang dapat mengendalikan keinginannya, maka ketidakpuasannya pun akan dapat segera diatasi. Lalu, akhirnya Dhamma memberikan jalan keluar untuk mengatasi dan mengendalikan keinginan. Dengan memiliki konsep berpikir seperti ini, maka tidak akan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sesungguhnya, dengan melaksanakan hidup sesuai dengan Dhamma, kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan.

Upacara Perkawinan Buddhis di Indonesia
Dalam mengajarkan Dhamma, Sang Buddha tidak pernah memberikan peraturan baku tentang upacara pernikahan. Hal ini disebabkan karena tata cara perkawinan adalah merupakan bagian dari kebudayaan suatu daerah, yang pasti akan berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain.
Biasanya di beberapa negara Buddhis, pasangan yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan di rumah mereka ataupun di vihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki, pemberkahan itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya berlangsung di Kantor Catatan Pernikahan atau di rumah pihak yang bersangkutan. Diharapkan agar pasangan-pasangan yang beragama Buddha lebih rajin menunaikan kewajiban-kewajiban agama apabila mereka menikah.
Kebaktian untuk pemberkahan perkawinan diawali dengan persembahan sederhana berupa bunga, dupa, dan lilin. Pemberkahan ini diikuti pula oleh orang tua kedua pihak dan sanak keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Hal ini akan menjadi suatu sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan pasangan yang baru menikah.
Sedangkan tata cara perkawinan Buddhis menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai. Pada saat itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan kain kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah dipersatukan. Oleh karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun hendaknya batin bersatu dan bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan pemercikan air paritta melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan kekotoran badan maupun barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha Dhamma yang dimiliki, hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga merupakan teman hidupnya.
Itulah uraian singkat pada salah satu dari sekian banyak proses pernikahan Buddhis yang biasanya dilaksanakan di vihãra-vihãra di Indonesia. Proses tersebut dapat dikatakan sebagai puncak acara pernikahan Buddhis yang berlaku di masyarakat Indonesia. Jika ingin lebih jelas, dapat menyempatkan diri untuk menyaksikan pernikahan Buddhis di vihãra terdekat.

Membina Keluarga Buddhis Bahagia
Dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa persyaratan dasar yang mendukung untuk mewujudkan kehidupan keluarga bahagia menurut Ajaran Sang Buddha. Faktor-faktor pendukung itu adalah :

a. Hak dan KewajibanTelah disebutkan di atas bahwa keluarga bahagia adalah komponen terpenting pembentuk masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, maka persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian, orang pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pihak terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, agar mendapatkan kebahagiaan bersama dalam kehidupan berkeluarga, diperlukan adanya pengertian tentang hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga.
Setiap anggota keluarga hendaknya selalu menanamkan dalam pikirannya dan melaksanakan dalam kehidupannya Sabda Sang Buddha yang berkenaan dengan pedoman dasar munculnya hak dan kewajiban. Pada Anguttara Nikaya I, 87 dinyatakan: ‘Sebaiknya orang selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari pertolongan yang telah diberikan pihak lain kepada diri sendiri agar muncul keinginan untuk menanam kebajikan kepadanya’. Pola pandangan hidup ajaran Sang Buddha ini apabila dilaksanakan akan dapat menjamin ketenangan, keharmonisan, dan kebahagiaan keluarga.

b. KemoralanDalam pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya juga dilengkapi dengan kemoralan (=sila) dalam kehidupannya untuk dapat menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga kebahagiaan keluarga yang selalu dianjurkan oleh Sang Buddha. Bahkan secara khusus Sang Buddha menyebutkan lima dasar kelakuan bermoral yang terdapat pada Anguttara Nikaya III, 203, yaitu lima perbuatan atau tingkah laku yang perlu dihindari :
1. melakukan pembunuhan / penganiayaan
2. pencurian
3. pelanggaran kesusilaan
4. kebohongan, bicara kasar, omong kosong, dan bergosip
5. mabuk-mabukan dan mengkonsumsi segala sesuatu yang menimbulkan ketagihan (misalnya narkoba)
Pelaksanaan kelima hal ini selain dapat menjaga keutuhan serta kedamaian dalam keluarga juga dapat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Manfaat ke dalam batin si pelaku dari pelaksanaan Pancasila Buddhis ini adalah membebaskan diri dari rasa bersalah dan ketegangan mental yang sesungguhnya dapat dihindari.

c. EkonomiFaktor pendukung kebahagiaan keluarga selain setiap anggota keluarga mempunyai perbuatan yang terbebas dari kesalahan secara hukum moral maupun negara seperti yang telah diuraikan di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi ekonomi keluarga juga memegang peranan penting. Telah cukup banyak diketahui, keluarga menjadi tidak bahagia dan harmonis lagi karena disebabkan oleh kondisi ekonomi yang kurang layak menurut penilaian mereka sendiri.
Mengetahui pentingnya kondisi ekonomi untuk kebahagiaan keluarga, maka Sang Buddha juga telah menguraikan dengan jelas hal ini pada Anguttara Nikaya IV, 285. Dalam nasehat Beliau di sana disebutkan empat persyaratan dasar agar orang dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya, yaitu:
Ø Pertama, orang hendaknya rajin dan bersemangat di dalam bekerja mencari nafkah.
Ø Kedua, hendaknya ia menjaga dengan hati-hati kekayaan apapun yang telah diperoleh dengan kerajinan dan semangat, tidak membiarkannya mudah hilang atau dicuri. Orang hendaknya juga terus menjaga cara bekerja yang telah dilakukannya sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.
Ø Ketiga, berusahalah untuk memiliki teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang jahat, serta
Ø Keempat, berusaha menempuh cara hidup yang sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu boros, dan juga tidak terlalu kikir.
Melaksanakan tuntunan cara hidup yang diberikan oleh Sang Buddha seperti itulah yang akan mewujudkan kehidupan keluarga menjadi bahagia secara ekonomis. Bila kondisi ekonomi keluarga telah dapat dicapai sesuai dengan harapan para anggota keluarga tersebut, maka untuk mempertahankannya atau bahkan untuk meningkatkannya lagi dapat disimak Sabda Sang Buddha yang lain dalam Anguttara Nikaya II, 249 yang menyebutkan bahwa keluarga manapun yang bertahan lama di dunia ini, semua disebabkan oleh empat hal, atau sebagian dari keempat hal itu. Apakah keempat hal itu? Keempat hal itu adalah menumbuhkan kembali apa yang telah hilang, memperbaiki apa yang telah rusak, makan dan minum tidak berlebihan, dan selalu berbuat kebajikan.
Harus disebutkan pula bahwa kesinambungan adanya semangat bekerja memegang peranan penting untuk keberhasilan berusaha. Sang Buddha membahas tentang hal ini dalam Khuddaka Nikaya 2444, yaitu bekerjalah terus pantang mundur; hasil yang diinginkan niscaya akan terwujud sesuai dengan cita-cita. Dan bila semangat dapat dipertahankan serta dikembangkan, maka tiada lagi kekuatan yang mampu menghalangi keberhasilannya. Sang Buddha pernah bersabda dalam Khuddaka Nikaya 881, bahwa ‘seseorang yang tak gentar pada hawa dingin atau panas, gigitan langau, tahan lapar dan haus, yang bekerja dengan jujuh tanpa putus, siang dan malam, tidak melewatkan manfaat yang datang pada waktunya; ia menjadi kecintaan bagi keberuntungan. Keberuntungan niscaya meminta bertinggal dengannya’.

d. Perkawinan harmonisIstilah ‘keluarga’ tentulah mengacu pada unsur terpenting pembentuk keluarga, yaitu pria dan wanita yang terikat dalam satu kelembagaan yang dikenal dengan sebutan ‘perkawinan’. Kelembagaan ini akan terus berkembang dengan lahirnya anak sebagai keturunan. Garis keturunan ini juga akan dapat terus berlanjut menjadi beberapa generasi penerus keluarga tersebut.
Sang Buddha lebih lanjut menguraikan tugas-tugas yang perlu dilaksanakan oleh suami terhadap istrinya dan juga sebaliknya. Oleh karena, keluarga bahagia akan dapat dicapai apabila suami dan istri dalam kehidupan perkawinan mereka telah mengetahui serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 118, yaitu bahwa tugas suami terhadap istri adalah memuji, tidak merendahkan atau menghina, setia, membiarkan istri mengurus keluarga, memberi pakaian dan perhiasan. Lebih dari itu, hendaknya disadari pula oleh suami bahwa dalam Ajaran Sang Buddha, istri sesungguhnya merupakan sahabat tertinggi suami (Samyutta Nikaya 165).

Sedangkan tugas istri terhadap suami adalah mengatur semua urusan dengan baik, membantu sanak keluarga suami, setia, menjaga kekayaan yang telah diperoleh, serta rajin dan tidak malas, pandai dan rajin dalam melaksanakan semua tugasnya serta segala tanggung-jawabnya.
Konsekuensi logis lembaga perkawinan adalah melahirkan keturunan. Dan, Sang Buddha juga memberikan petunjuk-Nya agar terjadi hubungan harmonis antara orang tua dan anak serta sebaliknya. Keharmonisan ini juga terwujud apabila masing-masing pihak menyadari dan melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk itu, dalam kesempatan yang sama Sang Buddha menguraikan tugas anak terhadap orang tua, yaitu merawat, membantu, menjaga nama baik keluarga, bertingkah laku yang patut sehingga layak memperoleh warisan kekayaan, melakukan pelimpahan jasa bila orangtua telah meninggal. Lebih lanjut dalam Khuddaka Nikaya 286 disebutkan bahwa ayah dan ibu adalah Brahma (makhluk yang luhur), ayah dan ibu adalah guru pertama, ayah dan ibu juga adalah orang yang patut diyakini oleh putra-putrinya.
Mengingat sedemikian besar jasa serta kasih sayang orang tua terhadap anaknya, maka kewajiban anak di atas sungguh-sungguh tidak dapat diabaikan begitu saja, seperti yang telah disebutkan dalam Khuddaka Nikaya 33, yaitu bahwa ‘Penghormatan, kecintaan, dan perawatan terhadap ayah serta ibu membawa kebahagiaan di dunia ini’. Sedangkan dalam Khuddaka Nikaya 393 disebutkan bahwa ‘Anak yang tidak merawat ayah dan ibunya ketika tua; tidaklah dihitung sebagai anak’. Oleh karena ‘Ibu adalah teman dalam rumah tangga’ (Samyutta Nikaya 163).
Sedangkan tugas orang tua terhadap anak adalah menghindarkan anak melakukan kejahatan, menganjurkan anak berbuat baik, memberikan pendidikan, merestui pasangan hidup yang telah dipilih anak, memberikan warisan bila telah tiba saatnya. Ditambahkan dalam Khuddaka Nikaya 252 bahwa ‘Orang bijaksana mengharapkan anak yang meningkatkan martabat keluarga, serta mempertahankan martabat keluarga, dan tidak mengharapkan anak yang merendahkan martabat keluarga; yang menjadi penghancur keluarga’.
Dengan adanya ‘rambu-rambu’ rumah tangga yang diberikan oleh Sang Buddha di atas akan menjamin tercapainya keselamatan bahtera rumah tangga yang sedang dijalani. Oleh karena itu, kesadaran melaksanakan ajaran Sang Buddha tersebut perlu semakin ditingkatkan sehingga akan meningkatkan pula baik secara kualitas maupun kuantitas keluarga bahagia yang ada dalam masyarakat kita maupun dalam bangsa dan negara kita.



KATA MUTIARA UNTUK UNDANGAN

KATA MUTIARA PERKAWINAN UNTUK UNDANGAN

“Hidup bersama-sama di kehidupan lalu dan karena kebajikan dalam kehidupan kali ini,
cinta lahir bagaikan teratai di atas air. Dengan hidup bersama, dengan pandangan,

dengan senyuman, cinta lahir di antara pria dan wanita.
Ketika cinta masuk ke dalam pikiran maka hati menjadi gembira.”

(Sang Buddha, Mahavastu Avadana)

Mereka akan menjadi suami istri yang berlimpah berkah keberuntungan
Apabila keduanya memiliki : Keyakinan, kedermawanan, ketrampilan,
Ucapan saling mencintai satu sama lain dan hidup sesuai dengan Dhamma
(Angutara Nikaya Bab VI.3; Sutta ke 53 )

“Kebahagiaan duniawi terbesar yang dapat dialami/dirasakan manusia
 Adalah perpaduan dari pernikahan yang mengikat dua hati
yang saling mencintai menjadi satu." 

(Sutta Pitaka - Digha Nikaya). 

"Bila dalam perjalanan hidupmu, engkau menemukan seorang teman yang bijaksana 

& cocok untuk hidup denganmu, hendaklah engkau berjalan bersamanya, 
dengan gembira dan penuh kesadaran mengatasi segala bahaya" 
(Dhammapada XXIII – 328)


Perkawinan yang berbahagia adalah perpaduan antara dua insan
yang saling mencintai, saling menghargai, saling menghormati dan saling setia..

-SIGALOVADA SUTTA-

 Bila keduanya memiliki keyakinan dan kedermawanan,
    Memiliki pengendalian diri, menjalani kehidupan yang benar,
    Mereka datang bersama sebagai suami dan istri. Penuh cinta kasih satu sama lain.


“Jika hanya aku dapat menikahi seseorang yang aku cintai.
Kegembiraan mendapatkan permata yang telah terpilih dari dasar samudra yang terdalam,
akan aku peroleh.” Senyuman manismu bertujuan untuk mencuri

hati mudaku. Jika cintamu padaku adalah sungguh sungguh,
maka berjanjilah padaku dari hatimu yang terdalam.” 
(Tsangyang Gyatso, Dalai Lama ke-6)


Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama
dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang datang
 maka ada empat hal yang harus diperhatikan,
 yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha),
 setara dalam sila, setara dalam kemurahan hati (caga)

dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian (pañña).

(Anguttara N II, 62)

SURAT PERNYATAAN BELUM PERNAH MENIKAH

SURAT PERNYATAAN BELUM PERNAH MENIKAH

Yang bertanda tangan di bawah ini :
No. NIK / KK / Tgl.      :………………………………………………………………................
N a m a                       :.………………………………………………………………………....
Jenis / kelamin             :………………………………………………………………………......
Tempat & Tgl Lahir     : ……………………………………………………………………….....
Pekerjaan                    : ……………………………………………………………………….....
Agama                        :.……………………………………………………………………….....
Alamat                        :……………………………………………….....................................
                                  RT.…. RW……Kel.…………Kec…………………Kota ………….......

Dengan ini saya menyatakan bahwa sampai saat sekarang saya belum pernah menikah dan belum pernah dicatatkan di catatan sipil Dinas Kependudukan di manapun juga.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, apabila surat pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menanggung segala akibatnya tanpa melibatkan pihak lain.
Surat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan ke Catatan Sipil Dinas Kependudukan.

                                                                                                ………………,…………....
                                                                                                  Yang membuat pernyataan

                                                                                                           Meterai Rp. 6.000,-


                                                                                                     
             (……………………………)
                      Ketua R.W.                                                                           Ketua R.T


            (………………………….)                                                 (.................…….…………)
                        Tercatat di buku register No………./ Kel. ……………………………………
                                                   Lurah ……………………………………..

                                                                   


                                                         (…………………………………)

CEK KESEHATAN PRA-NIKAH

 Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Menikah (Cek Kesehatan Pra Nikah)

Masih banyak pasangan di Indonesia yang menganggap bahwa pemeriksaan kesehatan sebelum menikah tidaklah penting. Padahal pemeriksaan ini sangat diperlukan untuk mengetahui kesehatan reproduksi kedua belah pihak, agar mengetahui kesiapan masing-masing untuk mempunyai anak. Selain itu juga sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit menular seksual, sampai penyebaran HIV/AIDS.
Kedua calon mempelai mungkin saja mewarisi penyakit keturunan yang  berbahaya, ada baiknya tes tersebut dijalani untuk memutuskan tindakan penanggulangannya.

Beberapa manfaat dari pemeriksaan kesehatan sebelum menikah, yaitu :

A.  Penyakit genetik/keturunan, misalnya: talasemia, buta warna, hemofilia, dll.
B.  Penyakit tertentu yang diturunkan, tetapi tidak jelas, misalnya: kecenderungan 
     diabetes melitus, hipertensi, kelainan jantung, dan sebagainya. 
     Penyakit-penyakit tersebut dapat mengakibatkan gangguan selama kehamilan
C.  Penyakit-penyakit yang baru diderita, misalnya: infeksi TORCH (pada wanita), 
     penyakit menular seksual (PMS) termasuk hepatitis B, dan HIV/AIDS.
D. Dapat mengubah perilaku bila si calon bapak atau calon ibu jika 
     memiliki kebiasaan yang tidak baik, misalnya merokok, minum alkohol,  
     memakai narkoba.

Berikut ini beberapa tes kesehatan pranikah yang biasa dilakukan:

·         Hematologi rutin, berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya kelainan pada jumlah sel darah pada kedua calon mempelai.
·         Urine rutin, bermanfaat untuk memeriksa ada tidaknya infeksi saluran kemih dan kondisi ginjal.
·         Golongan darah, berguna untuk mengetahui golongan darah dan rhesus (+ atau -) kedua calon pengantin.
·         Gula darah puasa, biasanya untuk memeriksa gula darah, seseorang dianjurkan untuk berpuasa terlebih dulu, hal ini bertujuan untuk mengamati kadar gula darah dalam tubuh.
·         HBsAG (Hepatitis B Surface Antigen), untuk menunjukkan penyakit hepatitis B.
·         VDRL (Venereal Disease Research Laboratory), berfungsi untuk mengetahui penyakit yang berhubungan dengan kelamin seperti sipilis atau raja singa.
·         Vertilitas ( untuk mengetahui tingkat kesuburan dari calon suami istri).
·         Gambaran darah tepi, bertujuan untuk mengetahui bentuk sel darah kedua pasangan.
·         TORCH (Toxoplasma gondii (toxo), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) dan lain-lain), berfungsi untuk menguji adanya infeksi penyakit yang bisa menyebabkan gangguan pada kesuburan pria maupun wanita. Tubuh yang terinfeksi TORCH dapat mengakibatkan cacat atau gangguan janin dalam kandungan.

Pemeriksaan dan konseling kesehatan pranikah penting untuk mengetahui kondisi pasangan serta proyeksi masa depan pernikahan, terutama yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi dan genetika, juga untuk kesiapan mental karena masing-masing calon mengetahui benar kondisi kesehatan calon pasangan hidupnya. Bagi Anda yang ingin menikah tidak ada salahnya untuk melakukan pemeriksaan terlebih dahulu karena hal ini bisa saling menguntungkan bagi keduanya. Pemeriksaan Pra Nikah ini sebaiknya dilakukan 6 bulan sebelum hari Pernikahan.


Catatan : Sebelum cek kesehatan Pra Nikah sebaiknya puasa dulu 10 atau 12 jam, namun masih boleh minum air putih. Tidak sedang dalam keadaan Haid. Top of Form

FORMULIR

SURAT PERMOHONAN PEMBERKAHAN PERKAWINAN AGAMA BUDDHA

Yang bertanda tangan di bawah ini :
I. Calon mempelai pria
    Nama                               :……………………………………………………………………...
    Tempat & Tgl. Lahir        :…………………………………………Gol. Darah……………….
    Alamat                             : …………………………………………Telp. : ……………………
    Kewarganegaraan           : ………………………………………………………………………
    Pekerjaan                        : ……………………………………………………agama Buddha
    Anak dari suami istri        : ………………………………………………………………………

II.Calon mempelai wanita  :
    Nama                               :……………………………………………………………………….
    Tempat & Tgl. Lahir        :…………………………………………Gol. Darah………………..
    Alamat                            :…………………………………………Telp.:……………………….
    Kewarganegaraan          : ………………………………………………………………………..
    Pekerjaan                       : ……………………………………………………  agama Buddha
    Anak dari suami istri       : ……………………………………………………………………….
    Dengan  ini   mengajukan permohonan   untuk  dilangsungkan   upacara  pemberkahan
    Perkawinan secara agama Buddha yang akan diselenggarakan pada hari ………………
    tanggal………bulan……………tahun………..pukul…………..bertempat di Vihara……….
    ………………………………………………    .Dengan dihadiri : ………………………………
 Disaksikan oleh :               Bimbingan : ……………….            Gladi resik : ………………….
I. Saksi mempelai pria        Biaya Catatan Sipil + Pemberkahan Tgl. :…………………………
   Nama                             : ………………………………………………………………………….
   Tempat & Tgl. Lahir       : ………………………………………………………………………….
   Pekerjaan                      :………………………………………………agama…………………..
   Alamat                           :…………………………………………………………………………..
II. Saksi mempelai wanita
   Nama                            :…………………………………………………………………………...
   Tempat & Tgl. Lahir      :…………………………………………………………………………...
   Pekerjaan                     :………………………………………………agama……………………
   Alamat                          :……………………………………………………………………………   
Demikian surat permohonan ini kami ajukan dengan harapan agar dapat dikabulkan.
                                                                        Bandung,…………………………
                                                         Calon mempelai Wanita      Calon mempelai Pria



                                                        (…………………………)    (…………………………..)

Persyaratan


  SYARAT PEMBERKAHAN PERKAWINAN  SECARA AGAMA BUDDHA

01. Kedua calon mempelai beragama Budda, dalam KTP tertulis agama Buddha.
02.Foto Copy Akta Kelahiran  (semua 2 X)
03.Ganti nama kalau nama sekarang berbeda dng akta kelahiran
04.Surat Keterangan dari Kelurahan yang menyatakan belum pernah 
     menikah diCatatan Sipil.  Bila salah seorang calon mempelai 
     dari luar kota Bandung Surat Keterangan tersebut harus 
     di tanda tangani  oleh Camat
05. Bagi yang belum berusia 21 tahun harus ada surat izin 
      dari orang tua.
06. Akta kematian bila orang tuanya sudah meninggal.
07. Akta kawin orang tua.
08. Kartu keluarga
09. KTP orang tua
10. Bagi janda atau duda melampirkan surat cerai Asli
11. Bagi janda atau duda melampirkan surat keterangan dari 
      Kelurahan yang menyatakan belum menikah lagi
12. 2 orang saksi dari kedua calon mempelai lampirkan foto copy 
      KTP
13. Pas Foto berdampingan 4 X 6 sebanyak 8 lembar (termasuk 
     catatan sipil) Pria sebelah Kanan, Wanita sebelah kiri latar 
     belakang warna merah.
14. 2 Vas Bunga untuk persembahan di Altar
15. 4 untai bunga kalung untuk upacara sungkem
16. Lilin untuk upacara pemberkahan sebanyak 2 pasang tinggi 
      +/- 35 Cm.
17.1bungkus hio wangi
18. Apabila pemberkahan dihadiri  Bhikkhu, maka sediakan 1 Ps.
      Lilin,1 bungkus hio wangi dan bunga 1 atau 2 tangkai diikat 
      jadi satu dengan pita merah.
19. Upacara dapat dilangsungkan apabila diajukan selambatnya 
     30 hari.
20. Untuk ke pencatatan sipil pengurusannya bisa dibantu .
21. Kedua mempelai harus mengikuti bimbingan pra nikah 
     dan gladi resik.
22.Untuk keterangan lebih lanjut hubungi Romo Jayana 
     Jl. Nyengseret 39   Bandung
      Hp. 081910000699  – 08122107570 Rmh – 0225203117 
      WA : 089516070959